SBY batal ke Belanda: emosional atau rasional?

 


SBY batal ke Belanda: emosional atau rasional?

Oleh: Bambang Soemarwoto

Ketika semangat 45 masih menggelora usai parade militer 5 Oktober, rakyat disuguhi berita tak sedap. Presiden NKRI batal ke Belanda, seperti tak punya nyali menghadapi gertakan RMS. Media ramai meliput, masyarakat ramai berdebat. Namun selama dua minggu ini semuanya terdengar monoton. Perlu nada lain dalam melodi. Berbagai fenomena yang tampak tak saling berhubungan perlu dicermati.

Masih ingatkah dua tahun lalu kita pernah diganggu film Fitna yang digagas Geert Wilders? Spirit yang terkandung dalam film ini diulas dalam artikel di harian The Jakarta Post tanggal 23 April 2008. Awalnya Wilders adalah anggota fraksi partai Liberal (VVD). Setelah dapat teguran dari ketua fraksi atas ucapan negatifnya tentang Islam, ia keluar dari fraksi VVD, mencari kebebasan total untuk menghujat Islam. Tetapi ia tetap duduk di parlemen menjadi fraksi satu-orang.

Untuk menggalang dana, ia dirikan “Yayasan Grup Wilders” yang pengurusnya hanya Wilders sendirian. Berambisi ikut pemilu, ia perlu partai politik.  Dalam hukum Belanda, prasyarat partai politik adalah harus ada perkumpulan yang memiliki paling sedikit dua pendiri. Tak habis akal, didirikanlah “Perkumpulan Grup Wilders” oleh dua entitas, yaitu “Yayasan Grup Wilders” dan Wilders sendiri secara pribadi. Seperti sudah jadi kebiasaan, perkumpulan ini juga  beranggotakan hanya satu orang, yaitu Wilders sendiri.

Maka berdirilah partai untuk kebebasan (PVV). Mudah ditebak, isinyapun hanya Wilders sendirian, yang bebas menentukan arah dan gerak PVV. Bahkan simpatisannya pun tidak boleh jadi anggota. Mereka hanya boleh berperan sebagai pemilih dalam pemilu, donatur dan relawan.

Bukan saja melawan asas matematik 1 + 1  = 2, eksistensi PVV juga total bertentangan dengan prinsip demokrasi. Tapi dukungan terhadap PVV terus mengalir. Jajak pendapat menunjukkan 75% pendukungnya berasal dari kalangan berpendidikan rendah. Tidaklah mengherankan, karena kalangan ini rentan terhadap retorik anti Islam dan anti imigran yang gencar dilancarkan Wilders.

Di sisi lain, atas dasar retorik ini juga pengadilan Amsterdam akhirnya memutuskan Wilders harus dituntut, setelah tarik ulur dengan kejaksaan Belanda (Openbaar Ministerie).  Lima dakwaan sepanjang 22 halaman mencakup: (1) menghina umat Islam, (2) menyerukan kebencian terhadap umat Islam, (3) menyerukan diskriminasi terhadap umat Islam, (4) membangkitkan kebencian terhadap imigran non-Barat dan/atau orang Maroko, (5) menyerukan diskriminasi terhadap imigran non-Barat dan/atau orang Maroko.  

Pada pemilu bulan Juni yang lalu, PVV meraih urutan ketiga dengan 24 kursi, di bawah VVD (31 kursi) dan partai buruh PvdA (30 kursi), dan di atas partai Kristen demokrat CDA (21 kursi), dari 150 kursi parlemen yang diperebutkan. Hasil pemilu mencerminkan 83% rakyat Belanda tidak setuju dengan ideologi PVV. Namun, adalah suatu kenyataan bahwa PVV telah menjadi kekuatan politik yang tak bisa diabaikan. Begitulah dilema Belanda saat ini.

Akibatnya, pembentukan koalisi jadi rumit. Berbagai variasi dijajaki. Akhirnya ditemukanlah resep baru yang tidak pernah dipakai sebelumnya sepanjang sejarah Belanda. Yaitu, kabinet minoritas dua-partai yang terdiri atas VVD dan CDA, yang didukung penuh oleh PVV. Bila ada voting,  resep ini dianggap masih bisa membentuk mayoritas tipis dalam parlemen. Resep yang sulit diracik, tercermin dari perundingan alot antara VVD, CDA dan PVV yang diselingi beberapa insiden.

Resep ini mendapat tentangan sengit dari kalangan CDA sendiri, tercermin dalam surat terbuka yang  dimuat di harian NRC Handelsblad tanggal 28 Agustus. Bobotnya demikian berat, tak kurang sederetan mantan menteri, mantan ketua fraksi, serta tokoh berpengaruh lainnya, turut menandatanganinya. Alasannya,  disamping akan memecah belah masyarakat di dalam negeri Belanda sendiri, kerja sama dengan PVV akan mengganggu hubungan luar negeri Belanda, menurunkan martabat Belanda di mata internasional.

Dua minggu menjelang kunjungan SBY, duta besar Habibie angkat bicara melalui wawancaranya dengan harian Financieel dagblad tanggal 23 September. Isinya keras ditujukan terhadap PVV, Wilders dan pendukungnya. Dikatakannya, seandainya PVV duduk di kabinet niscaya SBY tidak akan datang. Terhadap Wilders, dubes mempersilakannya berteriak di parlemen asalkan tidak mempengaruhi  kebijakan kabinet. Tapi diluar itu semua, pada dasarnya pesan yang disampaikan adalah SBY akan tetap berkunjung ke Belanda sesuai rencana.

Walaupun terasa keras, ucapan dubes bermakna ganda dan kontradiktif. Kontradiktif karena bila kabinet VVD-CDA dengan dukungan PVV terbentuk, maka per definisi Wilders memiliki pengaruh pada kebijakan kabinet. Bermakna ganda karena pada satu sisi bisa berarti manifestasi kekhawatiran para tokoh CDA, di sisi lain dapat diartikan sebagai restu Indonesia terhadap kabinet VVD-CDA dukungan PVV.

Pada tanggal 30 September rancangan kesepakatan VVD-CDA-PVV diajukan kepada fraksi masing-masing. Fraksi VVD dan PVV hanya perlu waktu singkat untuk menyetujuinya. Lain halnya dengan CDA. Mereka sampai perlu menyelenggarakan kongres pada hari Sabtu 2 Oktober yang dihadiri 4700 anggotanya untuk melakukan voting.  Hasilnya, 68% setuju, 32% menentang. Dengan hasil ini, fraksi CDA baru bisa menentukan sikapnya.

Sementara itu di pentas politik lain, memanfaatkan rencana kunjungan SBY, RMS mengajukan proses pengadilan kilat (kort geding) disertai permohonan penangkapan SBY atas tuduhan pelanggaran HAM.

Pada tanggal 4 dan 5 Oktober, di Belanda terjadi tiga peristiwa penting. Pertama, dimulainya sidang pengadilan terhadap Wilders di Amsterdam. Kedua, sidang fraksi CDA menyetujui secara unanim kesepakatan VVD-CDA-PVV, yang berarti kabinet VVD-CDA bisa segera dilantik Ratu. Ketiga, dimulainya sidang pengadilan kilat terhadap SBY atas permohonan RMS.

SBY batal dengan alasan peristiwa ketiga. Logis, reaksi masyarakat dan media massa Indonesia juga terfokus pada peristiwa ini saja. Padahal media massa Belanda justru mempertanyakan, adakah alasan yang tidak diucapkan oleh SBY? Apakah fenomena Wilders ada kontribusinya terhadap keputusan SBY?

Tentu saja Belanda bertanya-tanya, karena bisa dibayangkan posisi SBY kalau jadi datang: hari Kamis menandatangani kemitraan menyeluruh (comprehensive partnership) bersama kabinet Balkenende yang umurnya tinggal beberapa hari saja, minggu depannya harus mulai bermitra dengan kabinet baru yang dibelakangnya berdiri Wilders yang gemar menghujat Al Qur’an dan Nabi Muhammad SAW.

Andaikan benar ada alasan lain, SBY tak bisa menyebutkan faktor Wilders, karena biar bagaimanapun ini adalah urusan politik dalam negeri Belanda. Dalam konteks ini, gertakan RMS terhadap SBY adalah bak durian runtuh yang langsung dimanfaatkan SBY untuk menghindar datang ke Belanda. Namun apapun alasannya, penundaan kunjungan telah membawa hikmah.

Mungkin SBY dapat memanfaatkan waktu untuk meninjau kembali klausul kemitraan. Indonesia bisa membantu Belanda dalam memperbaiki suasana dalam negeri Belanda, terutama dalam menghadapi Islamofobia. Perlu dicermati bahwa pada tanggal 12 Oktober dan 15 Oktober, kejaksaan Belanda menuntut bebas Wilders dari segala dakwaan. Diperkirakan, ketukan palu hakim pada tanggal 5 November akan senada dengan tuntutan bebas dari kejaksaan. Kalau demikian halnya, ladang Islamofobia akan semakin subur, karena siapapun boleh menghujat, menghina dan melecehkan  Al Qur’an dan Nabi Muhammad SAW, asalkan tidak menghujat, menghina atau melecehkan umat Islam.

Tidaklah berlebihan kalau Indonesia membantu Belanda, karena ada presedennya. Klausul tentang 17 Agustus pada hakekatnya adalah resolusi konflik di dalam masyarakat Belanda sendiri, dimana pemerintah Belanda menerima 17 Agustus (bukan mengakui!), yang merupakan kompromi antar berbagai kelompok masyarakat Belanda.  

Kompromi yang bukan tanpa keberatan. Dua bulan setelah pemerintah Indonesia menyematkan Bintang Mahaputera Utama di dada mantan menlu Bernard Bot sehubungan penerimaan 17 Agustus oleh pemerintah Belanda, dalam sebuah surat terbuka di harian Trouw tanggal 23  Desember 2009 para pakar hukum, pakar sejarah serta sastrawan Belanda menyerukan agar pemerintah Belanda mengakui 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Indonesia .

Pada gilirannya di dalam suatu kemitraan yang menyeluruh, Belanda bisa membantu Indonesia menyuburkan nilai-nilai Islami berupa keadilan sosial, kepatuhan hukum dan budaya ilmiah/teknologi yang telah mengakar dalam masyarakat Belanda ke dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Emosional atau rasional? Setiap orang dapat menjawabnya dengan ucapan, hanya SBY yang dapat menjawabnya dengan tindakan.

Penulis adalah WNI tinggal di kota Leiden di negeri Belanda.

Popular posts from this blog

Indonesia Calls!

Doublet Guest House in Bandung for Rent / Sale

Contents