Sebuah Renungan


Sebuah Renungan

oleh: Bambang Soemarwoto

Bagaimana bisa sebagian masyarakat memilih seseorang yang terkait dengan penculikan, pembunuhan dan pembantaian massal sebagai pemimpin negerinya? (terlepas dari apakah keterkaitannya sebagai pelaku, pemberi perintah, atau sekedar sebagai penanggung jawab institusional). Begitulah pertanyaan yang ada di benak sebagian masyarakat yang tidak memilih Desi Bouterse [4]. Walaupun partainya tidak mendapatkan suara terbanyak, tetapi koalisi yang mendukungnya akhirnya membawa Desi Bouterse menjadi presiden Suriname pada tahun 2010. 

Jauh sebelum itu, pada tanggal 25 februari 1980, Desi Bouterse merebut kekuasaan melalui kudeta. Rakyat Suriname tidak terlalu menentang kudeta ini, dengan harapan perbaikan situasi ekonomi yang kacau. Namun ternyata Bouterse adalah seorang diktator yang dikelilingi konco militernya yang korup dan aktif terlibat dalam perdagangan kokain.

Penolakan dari rakyat makin kuat. Tuntutan akan demokrasi makin lantang. Reaksi dari rezim yang berkuasa berujung pada apa yang dikenal sebagai "decembermoorden" (pembunuhan desember) pada tanggal 8 Desember 1982 [1], dimana 15 aktivis demokrasi diculik, dibawa ke benteng Zeelandia, disiksa dan akhirnya dibunuh, dengan dalih untuk menyelamatkan negeri dari kudeta yang didukung asing. Korban terdiri atas lawan politiknya, pengacara yang membela mereka, dan juga sejumlah anggota serikat buruh, usahawan, akademisi, dan jurnalis yang kritis terhadap rezim Bouterse. Seseorang yang bisa dikatakan luput dari peristiwa ini adalah Somohardjo dari Partai Pendawa Lima [5], karena pada tanggal 7 desember ia melayat ibunya yang meninggal.

Pada periode 1986-1992 terjadi pemberontakan suku Marron yang dipimpin oleh mantan adjudan Bouterse yang bernama Ronnie Brunswijk. Rezim Bouterse menindak tegas pemberontakan ini, ditandai dengan pembantaian massal 39 penduduk di desa Moiwana. Sebagian besar korban terdiri atas wanita dan anak-anak.

Sementara itu situasi perekonomian makin parah. Untuk menenangkan rakyat, Bouterse menjanjikan demokratisasi melalui perubahan konstitusi. Namun konstitusi yang baru itu menjamin kekuasaan politik militer. Diselenggarakanlah pemilu pada tahun 1987. Partai NDP (Nationale Democratische Partij) yang didirikan Bouterse kalah telak. Januari 1988 Shankar menjadi presiden, tetapi pada tahun 1990 militer menelepon kabinet Shankar untuk membubarkan diri (dikenal sebagai "kudeta telepon"), hingga militer kembali berkuasa.

Setelah itu partai NDP melaksanakan berbagai program populis untuk merebut hati rakyat, sebelum menyelenggarakan pemilu baru. Namun, rakyat masih menolaknya, hingga akhirnya Venetiaan menjadi presiden baru Suriname pada bulan September 1991. Venetiaan berjanji akan mengusut terus decembermoorden, walaupun tidak jelas bagaimana dia akan melakukannya.

Pada tanggal 30 November 2007, pengadilan "decembermoorden" dimulai, dimana Bouterse ditetapkan sebagai tersangka utama. Namun, Bouterse selalu menolak hadir dalam pengadilan. Bouterse menyatakan permohonan maaf dan menerima tanggung jawab politis atas apa yang terjadi, tetapi menyangkal keterlibatan, membantah keberadaannya di tempat kejadian peristiwa di Zeelandia dan Moiwana.

Tahun 1992 Bouterse menarik diri dari kepemimpinan militer, dan sejak itu mulai membangun karir politik. Pada tahun 2009 dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, Bouterse mengatakan bahwa pengadilan itu untuk dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk menghalanginya ikut pemilu dan mengambil keuntungan politik saja. Akhirnya ia terpilih menjadi presiden pada tahun 2010, setelah merangkul musuh-musuhnya dari masa lalu, diantaranya Brunswijk dan Somohardjo.

Kembali ke pertanyaan di atas, bagaimana bisa sebagian masyarakat memilih seseorang yang terkait dengan penculikan, pembunuhan dan pembantaian massal sebagai pemimpin negerinya?

 

Mungkin ada yang melihat figur Hugo Chavez atau Evo Morales di dalam diri Desi Bouterse. Namun, Chavez maupun Morales tidak memiliki catatan pernah terkait (atau dikaitkan) dengan kasus-kasus seperti penculikan, pembunuhan ataupun pembantaian.

 

Karakter sosial masyarakat

 

Seorang pakar ilmu sosial dari Suriname, Maureen Silos [2], mencoba menjelaskannya dari sisi psikologi sosial sebagai berikut. "Pertama, Desi Bouterse adalah seorang pemimpin yang karismatis. Itu tidak bisa disangkal". Tetapi katanya, rasa takut ("angst", cemas) pada masyarakat Suriname juga memainkan peranan yang penting, "Desi Bouterse memancarkan wujud ketidaktakutan (keberanian). Saya tidak tahu apakah di dalam dirinya benar-benar tidak ada rasa takut, ataukah hanya cara dia menampilkan dirinya saja yang memancarkan keberanian. Di dalam masyarakat (Suriname) yang tergantung satu sama lainnya dalam kecemasan, baik disadari maupun tidak, Bouterse merupakan suatu oasis. Ia memancarkan sesuatu yang kita semua ingin merasakannya".

Bahwa banyak orang Suriname tidak mengindahkan kejahatan-kejahatan yang telah terjadi disebabkan oleh sifat bangsa juga, katanya. "Kita di Suriname tidak berpikir tentang etika dan moral. Kita tidak mau bercermin-diri dan kita tidak memiliki prinsip dengan mana kita seharusnya bisa mengendalikan sikap kita".

"Masyarakat Suriname berada dalam keadaan stress. Bahkan juga kalau anda punya pekerjaan sebagai pendidik atau perawat, selalu dalam keadaan stress. Selalu dibayangi pertanyaan: bagaimana saya bisa bertahan?", lanjutnya. Banyak pemilih di Suriname melihat figur kontroversial Bouterse sebagai penyelamat untuk bisa lepas dari kecemasan sehari-hari. "Desi Bouterse adalah wujud dari angan-angan untuk keluar dari stress. Saya pikir dia (Bouterse) tidak akan mampu menghilangkan stress (orang-orang), tetapi dia bisa meyakinkan mereka bahwa dia mampu melakukannya."

 

Menggapai figur yang kuat adalah ciri cara berpikir orang Suriname, lanjutnya. "Di Suriname kita hanya punya sedikit rasa percaya diri. Hanya ada sedikit stimulan (motivasi) untuk membangkitkan rasa percaya diri, sehingga anda cenderung menunggu orang lain melakukannya untuk anda. Ketika itu gagal, anda akan kembali kecewa dan bermuram. Telunjuk selalu mengarah keluar, selalu ada saja orang lain yang disalahkan. Tidak pernah mengambil tanggung jawab atas masalah anda sendiri."

 

Karisma dan Populisme


Bahwa Desi Bouterse memiliki karisma sejak dulu juga diakui oleh Reineke Maschhaupt [3] dalam skripsinya di universitas Leiden yang berjudul "Desi Bouterse: dari pemimpin otoriter-karismatis ke pemimpin populistis-karismatis". Pakar ilmu sosial Anton Allahar mengatakan bahwa karisma adalah sesuatu yang sulit didefinisikan, tetapi banyak orang percaya bahwa karisma itu memang ada. Kalau orang percaya akan keberadaan karisma, maka ini akan membawa akibat terhadap organisasi sosial dan kekuasaan.

Setelah Bouterse berubah dari pemimpin militer otoriter menjadi pemimpin politik karismatis, ia semakin sering mengumbar janji-janji populistis, dengan menyelipkan kata "maaf" di dalam retoriknya. Sebagian besar rakyat melihatnya sekarang sebagai "penyelamat". Rakyat yang menganggap pemimpinnya karismatis akan memaafkan kesalahan-kesalahannya. Mereka tidak peduli lagi dengan masa lalu. Mereka hanya menginginkan pekerjaan, sandang dan pangan. Dan Bouterse sangat jelas tentang apa yang ia janjikan, yaitu aspek materi yang mengena pada rakyat yang miskin.


Pakar ilmu politik Margaret Canovan menjelaskan bahwa populisme adalah sisi gelap dari demokrasi. Menurut pakar lainnya, Paul Taggart, populisme adalah instrumen dengan mana kita bisa mengukur kesehatan dari suatu sistem politik. Kalau populisme bangkit, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Paul Taggart menjabarkan populisme ke dalam 6 tema. Maschhaupt menemukan tema-tema ini pada fenomena di sekitar Bouterse sebagai berikut.

Tema 1: Populis menentang kemapanan politik yang ada. Bouterse memposisikan dirinya sebagai penentang "kebohongan besar" lawan politiknya yang sedang berkuasa, dan berjanji akan mengakhiri kesengsaraan dan kriminalitas.


Tema 2: Populis lebih yakin tentang "dia bukan siapa" dari pada "siapa dia", tidak memiliki ideologi. Bouterse bisa menjelaskan apa yang ia tentang, tetapi tidak bisa menjelaskan yang ia inginkan.

Tema 3: Populis seperti "bunglon" mudah beradaptasi diri. Bouterse lihai merangkul partai-partai kecil yang tadinya berseberangan dengannya untuk mengambil peranan dalam pemerintahannya, dengan menawarkan 5 jabatan menteri agar mereka mau mendukungnya.

 

Tema 4: Populis yang berhasil tumbuh dan sukses meraih kekuasaan, untuk mempertahankan posisinya ia akan menjadi apa yang ia tentang sebelumnya. Dalam waktu empat tahun Bouterse berhasil mendongkrak citranya. Ia menjadi penganut gereja Pinkster (Gods Bazuin), yaitu masyarakat gereja terbesar di Suriname. Setelah memenangkan pemilu, untuk mempertahankan posisinya Bouterse makin otoriter, bermain di batas-batas demokrasi. Karena ia menguasai parlemen, ia makin mengabaikan parlemen.


Tema 5: Populis memerlukan krisis untuk memanifestasikan dirinya, bisa berupa krisis yang nyata, bisa juga berupa imajinasi saja. Sejak tahun 1980 sampai 2010 situasi ekonomi di Suriname tidak kunjung baik. Namun demikian, pada tahun 2010 sejatinya tidak ada krisis ekonomi di Suriname (pertumbuhan sekitar 4% [6]), tetapi masyarakat sudah lelah dengan situasi politik yang ada selama dua periode pemerintahan Venetiaan. Bouterse memanfaatkan ini dengan menanamkan bayangan di dalam benak masyarakat bahwa mereka "harus diselamatkan".

Tema 6: Populis menyerukan angan-angan ideal bangsa, yaitu angan-angan simbolis yang merepresentasikan jati diri bangsa yang hampir hilang dan karenanya harus diselamatkan. Bouterse menamakannya dirinya "anak bangsa" yang akan memberikan Suriname kembali ke rakyatnya. Seperti dulu pejuang Anton de Kom yang melawan penjajah Belanda, ia akan melawan elit politik yang terlalu dipengaruhi oleh asing. Dalam retoriknya yang revolusioner, ia menentang demokrasi barat dan mekanisme pasar bebas.


Masa depan

Posisi politik Bouterse saat ini cukup kuat. Ia makin otoriter. Bouterse telah mengganti tujuh menteri yang sulit dikontrolnya. Parlemen berada di bawah kekuasaannya, sehingga perluasan undang-undang amnesti dapat disetujui, dengan dampak pihak-pihak yang diduga terkait dengan decembermoorden tidak dapat diproses secara hukum. Masyarakat Suriname tidak peduli, karena kenaikan harga emas dan bahan tambang lainnya telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Suriname. Suriname saat ini telah menjadi tujuan Foreign Direct Invesment yang menggiurkan, menarik investor asing seperti Cina dan Amerika masuk ke dalam sektor tambang [7,8].

 

Referensi:
[1] http://www.kitlv.nl/home/Spotlight?subpage_id=451
[2] http://nos.nl/artikel/160127-desi-bouterse-is-een-oase-van-angstloosheid.html
[3] https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/20542
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/D%C3%A9si_Bouterse
[5] http://nl.wikipedia.org/wiki/Paul_Somohardjo
[6] http://www.worldbank.org/en/country/suriname
[7] http://www.neweuropeaneconomy.com/home-mainmenu-51/fdi-mainmenu-59/481-suriname-an-ideal-location-for-foreign-direct-investment
[8] http://www.ibtimes.com/chinas-stake-suriname-why-beijing-interested-small-south-american-country-1286359


Popular posts from this blog

Indonesia Calls!

Doublet Guest House in Bandung for Rent / Sale

Contents