Sosok dan Paspor


Sosok fisik menunjukkan asal. Bukan hanya rambut dan wajah, tetapi ada juga yang bilang lenggang kaki orang Indonesia itu khas. Hal seperti ini termasuk identitas bangsa. Kalau kebetulan di luar negeri dimana banyak orang asal Indonesia tinggal, maka identitas itu seakan otomatis diperkaya oleh persepsi penduduk lokal terhadap orang Indonesia.

Seorang jemaah umrah tiba di Saudi Arabia. Petugas imigrasi terlihat sekilas menilik sosok jemaah itu. Begitu melihat paspor warna hijau berlambang Garuda dikeluarkan dari tas, dengan sikap yang kurang ramah petugas itu memeriksa paspor sambil bertanya, “
Where are you from?”. Jemaah umrah itu menjawab “I live in the Netherlands on the way from Amsterdam to Jakarta, I wish to perform Umroh during transit in Jeddah”. Wajah petugas kontan berubah ramah (dulu prosedur ibadah umrah tidak serumit sekarang. Calon jemaah bisa mengatur jadwal dan perjalanannya sendiri).

Sewaktu akan kembali ke Amsterdam dari Jakarta, ia harus menelepon Saudi Airlines untuk rekonfirmasi tiketnya ke Jeddah [d
ulu belum ada e-ticket seperti sekarang ini; penumpang harus rekonfirmasi tiketnya untuk penerbangan kembali]. Petugas maskapai yang menerima telepon sangat tidak ramah. Tetapi ketika mendengar penumpang berkata, “all the way to Amsterdam through Jeddah”. Responsnya langsung berbalik 180 derajat, berubah ramah dan dengan sopan menanyakan nama semua penumpang yang akan terbang bersama. Ironisnya, petugas itu adalah orang Indonesia, terdengar jelas dari nada dan logat berbicaranya.

Seorang ilmuwan asal Indonesia bersama rombongan yang berasal dari industri teknologi tinggi Eropa dan Amerika melakukan kunjungan kerja ke produsen komponen berkonten teknologi di Malaysia dan Singapura. Rombongan naik bus dari Kuala Lumpur, ke Melaka dan kemudian ke Singapura. Tempat pemeriksaan paspor di Singapora terlihat sepi, sehingga setiap orang dari rombongan bisa memilih jalur sendiri-sendiri. Demikian juga yang dilakukannya, dengan leluasa ia memilih jalur yang masih kosong. Paspor berlambang garuda itu diberikan kepada petugas. Setelah menilik paspor itu sejenak, petugas imigrasi Singapura yang berwajah etnis melayu itu bertanya “
what is your age?”. Ilmuwan itu tertegun tidak langsung menjawab, tidak menyangka akan ada pertanyaan seperti itu.

age, umur!”, kata petugas itu lagi.

 oh, fourty-seven”, jawabnya sambil masih tertegun, karena jelas-jelas tahun lahirnya tertulis di paspor, 1964.

I will bring your passport. Please proceed to the office there for control”, sahut petugas menunjuk ke suatu ruangan.

What kind of control? Is it a health control?

No, certain ages need to be controlled,” ujarnya sambil tersenyum.

Di ruangan itu ada beberapa deret kursi tunggu.
Terlihat beberapa orang Indonesia berwajah etnis tiongkok juga sedang menunggu di situ. Tak lama kemudian, seorang polisi berperawakan ibu-ibu gemuk datang masuk ruangan. Ia bertanya “fourty-seven?”. Belum sempat dijawab, ia bertanya lagi dengan aksen Singapuranya “empat puluh tujuh?”.

Ya, empat puluh tujuh.

“Wait a few moments.

Beberapa saat kemudian muncul seorang polisi Singapura, laki-laki terlihat masih muda berwajah etnis tiongkok.
“Where did you come from?”, tanyanya sambil meneliti paspornya.

“Kuala Lumpur.”

“Where in Kuala Lumpur?”

“Sheraton Hotel.”

“Where do you stay in Singapore?”

“Ibis Hotel Bencoolen”

Kebetulan ketika di Kuala Lumpur semua bukti pemesanan hotel telah dikopi ke teleponnya sehingga bisa langsung ia tunjukkan kepada polisi sebagai bukti.

“What is your purpose of coming to Singapore?”

“I am a scientist working in Amsterdam. I come here with a group of European and American companies. Tomorrow morning we all have an appointment to visit a Singaporean company”, sambil menunjukkan kartu ijin tinggal Eropa.

Wajah polisi itu seketika berubah, terlihat seperti agak
embarrassed. Persis saat itu terdengar di luar ruangan seseorang berlari-lari, ternyata ibu-ibu polisi itu yang datang tergopoh-gopoh sambil berseru-seru “cepatlah, cepatlah… kawan-kawan menunggu.” Polisi yang sedang mewawancarai segera memberikan paspornya dan menyilakannya pergi ke luar gedung untuk bergabung dengan rombongan.

Oh my gosh, I was afraid you were captured with drugs”, seloroh pemimpin rombongan, seorang warga negara Perancis berkulit hitam asal Kongo. “Ah, Indonesian passport. Always a problem!” komentar supir bus Malaysia sambil tersenyum lebar.

Fenomena yang tidak mudah dicerna, kecuali kalau tahu bagaimana kebijakan pemerintah Singapura terhadap warga negara Indonesia. Walaupun antar negara ASEAN bebas visa, status
“dirty until proven clean” tetap melekat. Pakaiannya stelan jas lengkap berdasi, tetapi karena datang masuk Singapura dari Malaysia lewat darat mungkin ia disangka mau bekerja ilegal di sektor yang memerlukan otot muda. Hanya ada satu hikmah positif dari peristiwa ini, ilmuwan itu boleh berbesar hati bahwa mungkin wajahnya terlihat terlalu muda untuk usianya.

Kasus lain, sepasang suami isteri yang tinggal di Malaysia sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Kuala Lumpur. Di pintu imigrasi satu-persatu paspor mereka diperiksa. Pemeriksaan terhadap suami berlangsung cepat dan lancar. Sang suami melangkah ke depan lalu berdiri menunggu pemeriksaan paspor istrinya yang berjilbab. Antar petugas terdengar pembicaraan, “Mengapa dia berdiri diam disitu terus, beri tahu dia urusannya sudah selesai dia boleh pergi.” Ketika diberi tahu, suami berkulit putih asli berwajah kaukasus pemegang paspor Belanda itu menerangkan bahwa dia menunggu istrinya.
“Oh, mengapa tidak bilang dari tadi,” ujar petugas itu sambil bergegas mencap dan memberikan paspor berlambang garuda kepada istrinya.

Apa yang menyebabkan fenomena dalam contoh-contoh di atas? Andaikan sang suami itu adalah warga negara Indonesia, yaitu berkulit putih berwajah kaukasus tapi mengeluarkan paspor berlambang garuda, apakah ia akan mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang ia alami sebagai pemegang paspor Belanda? Bagaimana kalau sang istri yang berwajah melayu dan berjilbab itu adalah pemegang paspor Belanda? Demikian juga halnya dengan ilmuwan dan jemaah Umrah di atas, andaikan mereka adalah pemegang paspor Belanda, apakah perlakuan yang diterimanya berbeda dari yang telah dialaminya?

Popular posts from this blog

Indonesia Calls!

Doublet Guest House in Bandung for Rent / Sale

Contents