Menyetarakan Kemitraan


Menyetarakan Kemitraan

oleh: Bambang Soemarwoto


Kemitraan komprehensif Indonesia-Amerika Serikat adalah momentum penting dalam hubungan antar kedua negara. Dalam orasinya di Universitas Indonesia tanggal 10 November yang lalu, Presiden Obama menyebutnya sebagai partnership of equals. Menteri luar negeri Marty Natalegawa mengatakannya sebagai kemitraan yang setara dan luas di berbagai bidang. 


Sejumlah inisiatif  telah disepakati, diantaranya di bidang sosial budaya (peace corps), keamanan dan kerja sama regional (Defense Framework Arrangement), ilmu pengetahuan dan teknologi (Frontiers of Science), pendidikan (Exchange Initiatives, University Partnerships), lingkungan dan perubahan iklim (SOLUSI – Science, Oceans, Land Use, Society and Innovation). 


Makna komprehensif tidak perlu diragukan lagi. Namun, mengenai setara atau tidaknya, kemitraan ini perlu ditelaah lebih mendalam. Makna kesetaraan memerlukan tolok ukur yang sama. Untuk  bisa mengatakan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, diperlukan skala panjang yang sama. 


Penetapan tolok ukur dalam suatu kemitraan memerlukan pemahaman tentang perbedaan antar mitra. Perlu disadari, Amerika dan Indonesia adalah dua negara yang tingkat keadaannya sangat berbeda. Sebagai contoh dapat diambil bidang pendidikan tinggi (dikti) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). 


Salah satu unsur penting yang menentukan tingkat keadaan dikti dan iptek di suatu negeri adalah sumber daya manusianya. Aspek yang dominan adalah kapasitas yang dinyatakan dalam satuan orang-jam (man-hour) pada rentang waktu tertentu. Seorang peneliti yang bekerja 8 jam per harinya memiliki kapasitas 8 orang-jam per hari, atau 1920 orang-jam per tahun (dengan anggapan 4 minggu cuti). Pemanfaatan kapasitas ini menentukan seberapa cepat, efisien dan efektif suatu kemajuan iptek akan terjadi.


Anggaran dikti dan iptek di Indonesia relatif kecil, walaupun perkembangan terakhir menunjukkan banyak perbaikan. Salah satu pusat keprihatinan adalah gaji staf yang masih rendah, serta jaminan sosial dan kesehatan yang belum memadai. Konsekuensinya, berbagai macam kiat diciptakan untuk menambah gaji, diantaranya dalam bentuk tunjangan jabatan, uang rapat, anggaran perjalanan dinas, atau sering juga melalui penyelenggaraan berbagai penataran dan program-program khusus pasca sarjana. Disamping itu, banyak kiat yang mengandalkan kontrak perorangan dengan pihak ketiga, yang dalam banyak kasus tidak ada kaitannya dengan pengembangan bidang keilmuan.


Kiat penambahan gaji sifatnya selalu sementara, yang sewaktu-waktu bisa terhenti. Hal ini dirasakan oleh yang bersangkutan sebagai ancaman finansial terhadap kesejahteraan hidupnya. Akibatnya, muncul dorongan kuat untuk lebih banyak lagi memperoleh tambahan penghasilan, sebagai bentuk jaminan untuk menghadapi masa-masa sulit. Eksesnya, bisa tercipta ketimpangan finansial antar individu di dalam institusi yang sama, karena tidak ada konsensus berapa besar penghasilan seharusnya.


Pada hakekatnya di negara maju juga terjadi ancaman finansial. Seorang profesor pun dapat kehilangan pekerjaannya. Namun, ancaman itu berlangsung pada siklus yang lebih panjang, dalam skala tahunan. Dalam siklus ini, seorang peneliti menerima gaji yang pantas dari institusinya, disertai jaminan sosial dan kesehatan yang layak. Sedemikian rupa, sehingga ia berdaya mengeksploitasi seluruh kapasitasnya untuk kemajuan ilmiah. Ia punya waktu cukup untuk bisa fokus pada bidang keilmuannya. Hasilnya, ia bisa bersaing untuk menjamin kesinambungan aliran dana masuk ke institusinya, yang pada gilirannya dipakai untuk membayar gajinya.


Di Indonesia, siklus bisa terjadi dalam skala mingguan, sehingga praktis peneliti tidak bisa fokus. Kapasitas digerogoti oleh kegiatan yang tak ada kaitannya dengan pengembangan bidang keilmuan. Belum ada studi berapa besar rata-rata kapasitas peneliti Indonesia yang efektif bisa dimanfaatkan untuk penelitian. Tapi sangat boleh jadi, hanya 20% dari kapasitas yang 1920 orang-jam per tahun itu bisa direalisasikan untuk kemajuan ilmiah. 


Ketimpangan kapasitas jelas akan menghalangi terwujudnya kemitraan yang setara. Seorang peneliti Amerika yang bisa fokus 1920 jam per tahun akan membukukan kemajuan yang jauh lebih pesat dari pada peneliti Indonesia yang hanya bisa fokus 385 jam per tahun.


Memang, ketimpangan kapasitas ini telah disadari dalam berbagai program kerja sama luar negeri di masa lalu. Salah satu kompensasi terhadap ketimpangan ini adalah peneliti Indonesia diundang mengunjungi mitranya di luar negeri. Selama kunjungan itu, ia bisa fokus pada bidang keilmuannya, sehingga kontribusinya setara dengan kontribusi mitranya. Masalahnya, setelah ia kembali ke tanah air, ketimpangan itu terjadi lagi, dan ia tertinggal lagi.


Fenomena kompensasi seperti di atas tidak boleh terulang lagi, misalnya dalam program Frontiers of Science, Exchange Initiatives, Fulbright Indonesia Research, Science, and Technology (FIRST) maupun University partnerships yang akan dilaksanakan dalam kemitraan yang baru. Partnership of equals yang diucapkan oleh Obama hanya bisa terwujud kalau ada kesetaraan antara peneliti Amerika dan peneliti Indonesia saat mereka bekerja di negerinya masing-masing. 


Perlu dicatat, kesetaraan tidak menuntut anggaran yang sama besarnya. Kesetaraan menuntut tolok ukur yang sama dalam memberdayakan peneliti untuk mengeksploitasi kapasitasnya dalam satuan jam-orang. Tolok ukur dirumuskan dalam kontrak kepegawaian antara peneliti dan institusinya. Model kontrak kepegawaian di negara maju telah terbukti berhasil membawa kemajuan iptek


Karena itu, pemerintah Indonesia sebaiknya mengadopsi saja model kontrak kepegawaian negara maju. Tetapi, besar anggarannya ditentukan berdasarkan konsensus antar peneliti, institusinya dan pemerintah Indonesia sendiri. Konsensus harus dicapai untuk menjamin standar hidup yang layak sesuai kondisi lokal di Indonesia. Momentum kemitraan komprehensif dengan Amerika Serikat dapat dimanfaatkan untuk menerapkan kontrak kepegawaian yang baru pada institusi Indonesia yang terlibat dalam kemitraan ini. Dengan demikian, peneliti Indonesia akan mulai dapat berpacu menciptakan kemajuan ilmiah tingkat dunia demi kemakmuran bangsa.


Penulis adalah WNI penduduk kota Leiden, Belanda.


Popular posts from this blog

Indonesia Calls!

Contents

History & Commemoration