Merdeka belum Mandiri
Merdeka belum mandiri
Bung Hatta menulis:
From the very beginning Indonesian nationalism was not determined by identical origin, identical language or identical religion, but had its basis in the realization of various component parts that they formed one entity with a common destiny and purpose. Under the Dutch colonial domination, which lasted for more than 300 years, the different ethnic groups in the former Netherlands Indies became aware of sharing the same identity. It is this phenomenon that provided the base for Indonesian nationalism and thereby defined the territotial limits of the present free and unified Republic of Indonesia.
Sejak awal nasionalisme Indonesia tidak ditentukan oleh asal yang sama, bahasa yang sama atau agama yang sama, tetapi memiliki landasan pada kesadaran akan kebinekaan yang terbentuk menjadi satu dengan takdir dan tujuan yang sama. Di bawah dominasi kolonial Belanda, yang berlangsung lebih dari 300 tahun lamanya, berbagai suku di bekas Hindia Belanda itu menjadi sadar bahwa mereka bersama memiliki identitas yang sama. Fenomena inilah yang melandasi nasionalisme Indonesia dan dengannya menentukan batas-batas teritori Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu.
Ada musuh bersama, ada satu tujuan bersama: merdeka dari cengkraman penjajah yang satu itu!
Marilah kita berseru Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku, Hiduplah negriku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya.
Hampir 70 tahun lamanya setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sementara itu bangsa Indonesia telah mengenal tiga era politik pemerintahan. Namun, saat ini ketidakadilan, kesengsaraan dan penderitaan ternyata masih sangat jamak ditemui. Siapa kali ini musuhnya?
Sering istilah "bangsa asing" diidentikkan dengan "musuh", tanpa ada perincian lanjut tentang siapa dan bagaimana rupa dan tindakan musuh ini. Tetapi tidaklah sulit menebak kira-kira ditujukan kepada siapa istilah itu. Mereka adalah yang “hadir” di Indonesia, terutama Jepang, Singapura, Cina, Malaysia, Inggris, Perancis, Belanda, Amerika Serikat dan Australia. IMF dan World Bank dipandang sebagai sebagai instrumen mereka yang menerabas kedaulatan negara.
Namun, realita menyajikan fenomena yang gamblang, tapi ironis. Mereka sejatinya sangat "dekat" dengan kehidupan sehari-hari kita, karena mereka adalah "penyedia kebutuhan" hidup sehari-hari kita, baik berupa kebutuhan rohani (barang-barang konsumtif, hiburan, informasi, …) maupun kebutuhan hidup lainnya yang lebih mendasar untuk komunikasi, transportasi, perbankan, sandang, pangan, air minum, tahu, tempe, lapangan pekerjaan, dan banyak lainnya. Bahkan tidak lama lagi, mereka akan turut menyediakan kebutuhan akan pendidikan Indonesia, setidaknya pendidikan tinggi.
Dulu, pilihan modus perjuangannya jelas: angkat senjata, diplomasi, atau dukung secara logistik, untuk tujuan yang juga jelas:
Indonesia Raya,
Merdeka, Merdeka
Tanahku, negriku yang kucinta.
Indonesia Raya,
Merdeka, Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya.
Sekarang, apa saja modus perjuangannya? apa tujuannya? Tidak jelas. Kalaupun ada pilihan, pengaruh dan dampaknya tidak mudah dijabarkan.
Indonesia Raya,
Mandiri, Mandiri
Tanahku, negriku yang kucinta.
Indonesia Raya,
Mandiri, Mandiri
Hiduplah Indonesia Raya.
Makna Kita
Sebagai badan penasihat dan konsultatif yang terdiri atas wakil-wakil pemberi kerja, wakil-wakil serikat pekerja dan pakar-pakar independen, Dewan Sosial dan Ekonomi Belanda (SER) bertujuan membantu mewujudkan konsensus atas isu-isu sosial-ekonomi nasional dan internasional.
SER memberi nasihat kepada pemerintah dan parlemen Belanda tentang garis-garis besar kebijakan sosial dan ekonomi dan tentang perundang-undangan sekitar isu-isu sosial dan ekonomi yang penting. Anjuran yang diterbitkan SER memiliki peran ganda: (i) membantu agar kebijakan kabinet pemerintah mendapatkan dukungan luas dari masyarakat dan (ii) membantu agar sektor usaha berjalan dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial.
Dalam merumuskan anjurannya, SER dipandu oleh tujuan kemakmuran sosial dalam arti yang seluas-luasnya. Ini mencakup bukan saja kemajuan material (yaitu peningkatan kekayaan dan produksi), tetapi juga kemajuan sosial (yaitu kesejahteraan dan keeratan sosial) serta lingkungan hidup yang berkualitas tinggi (yaitu faktor-faktor lingkungan dan ruang).
The SER’s advice is guided by the objective of social prosperity in its widest sense. This encompasses not only material progress (i.e., increased affluence and production), but also social progress (i.e., improved welfare and social cohesion) and a high-quality environment in which to live (i.e., environmental and spatial factors).
Filsafat dan mekanisme di atas membentuk ekonomi musyawarah (overlegeconomie) yang bertumpu pada dialog bertema sosial-ekonomi. Dialog berlangsung antara dua kelompok, yaitu perhimpunan pemberi kerja (pengusaha) dan serikat pekerja, yang berembuk dan berunding, dimana pemerintah juga terlibat di dalamnya, untuk mencapai butir-butir kesepatan yang selanjutnya dituliskan sebagai perjanjian kerja kolektif (Collectieve Arbeidovereenkomst, CAO). Kedua kelompok ini dikenal di Belanda sebagai partner sosial (sociale partners).
Kedua kelompok ini ditambah pemerintah praktis mencakup semua anggota masyarakat. Karena itu, kesepakatan yang dicapai praktis menaungi semua sendi-sendi kehidupan masyarakat, yang harus dijunjung dan menjadi tanggung jawab bersama. CAO dijabarkan untuk sektor masing-masing, misalnya antara pengusaha hotel-restoran dan karyawannya terdapat CAO hotel-restoran, antara pemerintah dan pegawainya terdapat CAO pegawai negeri sipil, dan banyak lagi lainnya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi terdapat CAO perhimpunan universitas Belanda (Vereniging van Samenwerkende Nederlandse Universiteiten, VSNU). Wujud pemahaman “kita” yang inklusif tercermin dari faktor hanya sebesar 3 saja di antara gaji bruto jenjang teknisi dan jenjang guru besar. Dengan pajak pendapatan progresif yang berlaku di Belanda, yaitu berkisar antara 37% sampai 52% tergantung besarnya gaji, maka faktor di antara gaji netto kedua jenjang tersebut akan lebih kecil dari pada 3.
Ini sangat kontras dengan faktor sebesar 25 di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, apalagi ini terjadi pada peran (fungsi) yang sama (setara) yaitu guru besar. Dalam pemahaman “kita” yang inklusif, faktor sebesar itu akan ditolak mentah-mentah. Alasannya bukan keadilan, tetapi alasan pragmatis yaitu kesenjangan sosial yang terjadi dinilai akan mengganggu suasana kerja. Akibatnya pada skala masyarakat, upaya dan hasil maksimal tidak akan bisa tercipta pada semua lini kehidupan.
Bahwa kesenjangan sosial ditoleransi dalam pemahaman "kita" yang ekslusif tercermin dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari yang bisa berlangsung damai tanpa konflik, padahal ada "kita" yang secara sosial-ekonomi mendapatkan pengistimewaan (privilege) dibandingkan "kita" yang lainnya. Pengistimewaan ini tidak dianggap tidak pantas, karena dalam pemahaman ekslusif, orang dianggap punya rejekinya masing-masing. Perbedaan status sosial, ambang batas kenikmatan dan penderitaan dianggap sebagai bawaan pribadi masing-masing.
Karena adanya kelompok yang “dikeluarkan” dari “kita” pada pemahaman yang ekslusif, sangatlah sulit untuk dilakukan dialog. Yang terjadi justru pertikaian seperti yang terjadi di sekitar penetapan kenaikan upah minimum di awal tahun 2013 di Indonesia.