Merdeka belum Mandiri


Merdeka belum mandiri

Menuju tiga perempat abad sejak proklamasi kemerdekaan 1945, di tengah globalisasi yang makin menerabas sendi-sendi kehidupan, makna nasionalisme perlu direnungkan kembali dalam konteks mutakhir.


Dalam perjuangan kemerdekaan di masa lalu landasan nasionalisme lebih mudah dikenal: beragam suku di berbagai wilayah Indonesia berada di bawah cengkraman satu penjajah yang sama. Semua merasakan ketidakadilan, kesengsaraan dan penderitaan yang serupa.


Bung Hatta menulis:


From the very beginning Indonesian nationalism was not determined by identical origin, identical language or identical religion, but had its basis in the realization of various component parts that they formed one entity with a common destiny and purpose. Under the Dutch colonial domination, which lasted for more than 300 years, the different ethnic groups in the former Netherlands Indies became aware of sharing the same identity. It is this phenomenon that provided the base for Indonesian nationalism and thereby defined the territotial limits of the present free and unified Republic of Indonesia.


Sejak awal nasionalisme Indonesia tidak ditentukan oleh asal yang sama, bahasa yang sama atau agama yang sama, tetapi memiliki landasan pada kesadaran akan kebinekaan yang terbentuk menjadi satu dengan takdir dan tujuan yang sama. Di bawah dominasi kolonial Belanda, yang berlangsung lebih dari 300 tahun lamanya, berbagai suku di bekas Hindia Belanda itu menjadi sadar bahwa mereka bersama memiliki identitas yang sama. Fenomena inilah yang melandasi nasionalisme Indonesia dan dengannya menentukan batas-batas teritori Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu.

Ada musuh bersama, ada satu tujuan bersama: merdeka dari cengkraman penjajah yang satu itu! 

Marilah kita berseru Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku, Hiduplah negriku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya.

Hampir 70 tahun lamanya setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sementara itu bangsa Indonesia telah mengenal tiga era politik pemerintahan. Namun, saat ini ketidakadilan, kesengsaraan dan penderitaan ternyata masih sangat jamak ditemui. Siapa kali ini musuhnya?


Sering istilah "bangsa asing" diidentikkan dengan "musuh", tanpa ada perincian lanjut tentang siapa dan bagaimana rupa dan tindakan musuh ini. Tetapi tidaklah sulit menebak kira-kira ditujukan kepada siapa istilah itu. Mereka adalah yang “hadir” di Indonesia, terutama Jepang, Singapura, Cina, Malaysia, Inggris, Perancis, Belanda, Amerika Serikat dan Australia. IMF dan World Bank dipandang sebagai sebagai instrumen mereka yang menerabas kedaulatan  negara. 


Namun, realita menyajikan fenomena yang gamblang, tapi ironis. Mereka sejatinya sangat "dekat" dengan kehidupan sehari-hari kita, karena mereka adalah "penyedia kebutuhan" hidup sehari-hari kita, baik berupa kebutuhan rohani (barang-barang konsumtif, hiburan, informasi, …) maupun kebutuhan hidup lainnya yang lebih mendasar untuk komunikasi, transportasi, perbankan, sandang, pangan, air minum, tahu, tempe, lapangan pekerjaan, dan banyak lainnya. Bahkan tidak lama lagi, mereka akan turut menyediakan kebutuhan akan pendidikan Indonesia, setidaknya pendidikan tinggi.


Dulu, pilihan modus perjuangannya jelas: angkat senjata, diplomasi, atau dukung secara logistik, untuk tujuan yang juga jelas:

Indonesia Raya,
Merdeka, Merdeka
Tanahku, negriku yang kucinta.
Indonesia Raya,
Merdeka, Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya.

Sekarang, apa saja modus perjuangannya? apa tujuannya? Tidak jelas. Kalaupun ada pilihan, pengaruh dan dampaknya tidak mudah dijabarkan. 


Walaupun demikian, kelihatannya ada kesepakatan, suatu konsensus, yang terungkap dari obrolan warung kopi dan diskusi di berbagai media dan forum, yaitu adanya angan-angan untuk merebut posisi "penyedia kebutuhan" itu semua dari bangsa asing, dan mempertahankannya seakan mempertahankan kemerdekaan yang direbut pada tahun 1945.

Semangat perjuangan didasari keyakinan bahwa roda ekonomi adalah milik bangsa sendiri, untuk bangsa sendiri. Pasar Indonesia adalah milik dan untuk Indonesia. Indonesia harus dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Indonesia sudah merdeka tapi belum mandiri!

Indonesia Raya,
Mandiri, Mandiri
Tanahku, negriku yang kucinta.
Indonesia Raya,
Mandiri, Mandiri
Hiduplah Indonesia Raya.


Tapi apa makna mandiri? Bukankah Jepang, Singapura, Cina, Malaysia, Inggris, Perancis, Belanda, Amerika dan Australia pada hakekatnya sangat tergantung dari (sumber daya alam dan tenaga kerja) Indonesia? Tetapi mengapa justru kita yang tergantung dari mereka? Tidak lain jawabannya adalah karena sebenarnya kita tergantung dari kita sendiri.

Anehnya, setiap dari mereka juga bisa melontarkan pertanyaan yang sama, "Bukankah Indonesia tergantung dari kita? Tetapi mengapa pada kenyataannya kita tergantung dari Indonesia?”. Jawabannya, “Tidak lain karena sebenarnya kita tergantung dari kita".

Umat manusia memang tercipta saling tergantung. Tetapi mengapa Jepang menjadi Jepang seperti sekarang, Belanda menjadi Belanda seperti sekarang, "bangsa asing" menjadi "bangsa asing" seperti sekarang, sedangkan Indonesia menjadi Indonesia seperti sekarang?

Mungkinkah makna "kita" ketika mereka mengucapkan kata "kita" berbeda dengan makna "kita" ketika kata itu diucapkan oleh kita? Mungkinkah nasionalisme dalam kehidupan berbangsa mereka berbeda secara pemahaman dan pelaksanaan kesehari-hariannya dengan nasionalisme dalam kehidupan berbangsa kita?

Makna Kita


Tidaklah berlebihan kalau generasi muda Indonesia perlu mendapatkan gambaran bagaimana pemahaman dan pelaksanaan tentang "kita" dan "nasionalisme" di dalam kehidupan bangsa lain. Dimanakah titik berat mereka, antara emosional dan rasional, antara idealis dan pragmatis, antara seremonial dan praktis? Seperti apa manifestasinya dalam kehidupan sehari-hari?

Pemahaman nasionalisme yang spesifik dan kongkrit perlu disampaikan kepada generasi muda Indonesia, ditinjau dari berbagai sudut pandang. Manifestasi yang kasat mata,  yang bukan simbolis,. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua pemahaman tentang "kita": inklusif dan eksklusif. 

Pemahaman "kita" yang inklusif mengijinkan atau bahkan memotivasi perbedaan status sosial, tetapi menolak tegas kesenjangan sosial. Manifestasi yang dapat dilihat adalah, sebagai contoh, standar hidup seorang teknisi (tukang) listrik bisa sama dengan standar hidup seorang profesor. Mereka bisa bertetangga berdampingan, yang secara materi dan fasilitas tidak terlihat perbedaan fungsionalnya.

Mereka memiliki sandang, pangan, papan, dan fasilitas kesejahteraan keluarga/anak yang setara. Tetapi bisa saja yang satu mengambil asuransi kesehatan basic, sedangkan yang lainnya asuransi kesehatan plus, yang membedakan di bangsal mana mereka berbaring kalau diopname di rumah sakit. Namun, pelayanan dan jaminan atas fasilitas kesehatannya identik. Dijamin tidak ada yang harus mati lebih dahulu atau bisa hidup lebih panjang dari pada  yang lainnya hanya karena alasan harga obat dan perawatan. Tidak ada kesenjangan sosial!

Tanpa salah satu dari mereka, kehidupan bermasyarakat tidak akan berlangsung baik. Tanpa instalasi listrik yang terawat baik, tugas akademik profesor akan terhalang.  Walaupun demikian, perlu disimak bahwa peran mereka di dalam masyarakat berbeda. 

Pengalaman dan bekal hidup mereka juga berbeda. Kekayaan intelektual mereka berbeda. Pengaruh, kontribusi dan otoritas terhadap masyarakat juga berada pada tingkat dan skala yang berbeda. Dengan sendirinya, penghormatan juga berbeda. Ada perbedaan status sosial!

Perbedaan status sosial tergantung atas kesempatan yang ada dan pilihan yang dibuat selama jalan hidup seseorang. Perlu disimak, pemahaman "kita" yang inklusif mengakui adanya perbedaan kesempatan karena berbagai alasan, termasuk karena latar belakang sosial-ekonomi orang tua, tapi bisa juga karena kemampuan otak dan mental atau  faktor-faktor lainnya yang dianggap sebagai "sudah berkah dari sananya". 

Kapasitas setiap orang adalah unik. Per definisi, upaya maksimal setiap orang akan memberikan hasil yang maksimal. Kalau upaya dan hasil maksimal tercipta sesuai peran dan kapasitasnya masing-masing, maka yang terjadi adalah hasil maksimal di semua lini kehidupan masyarakat yang akan dirasakan dan dinikmati oleh semua orang.

Perbedaan kesempatan tidak boleh sampai mengakibatkan kesenjangan sosial, karena kalau kesenjangan sampai terjadi, kehidupan masyarakat akan timpang. Berarti teknisi yang sakit harus dijamin mendapatkan perhatian dokter yang sama intensifnya dengan perhatian dokter yang didapatkan oleh seorang profesor. 

Di sisi lain, idealisme ini tidak boleh menghalangi timbulnya perbedaan status sosial. Sangatlah manusiawi seseorang yang memiliki pengaruh, otoritas dan kontribusi meluas terhadap masyarakat mendapatkan penghormatan yang lebih tinggi. Tidak harus selalu dalam bentuk materi, tetapi yang penting adalah meningkatkan harga diri, memberi motivasi dan semangat untuk hidup yang bermanfaat dan bermartabat.

Kesenjangan sosial? Tidak! Perbedaan status sosial? Silakan! Kedua prinsip inilah yang mendorong kenyamanan dan kemajuan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, yang tidak akan berdiri begitu saja dengan sendirinya, dan karena itu harus diperjuangkan. 

Pemahaman “kita” yang inklusif memerlukan konsensus atau kesepakatan bersama atas aspek-aspek kehidupan yang mendasar. Selain kesehatan yang telah disebutkan di atas, keselamatan dan keamanan juga diantaranya termasuk aspek yang sangat diperhatikan. Konsensus itu menjadi norma-norma sosial yang berlaku untuk dijunjung sepanjang rentang kehidupan anak manusia mulai dari lahir sampai mati, dalam dimensi jasmani dan rohani.

Dalam batas norma-norma itulah setiap anggota masyarakat menjalani tahap kehidupan dan siklus kegiatan sehari-harinya, sejak dibesarkan dari kecil, kemudian bersekolah, bekerja, berlibur, bepergian, bertempat tinggal, berekreasi, dan seterusnya, hingga masuk masa pensiun, masa tua dan tutup usia. Kalau ada norma yang terlanggar, lampu alarm indikator kesenjangan sosial akan menyala.

Setiap bangsa dan negara memiliki filsafat dan mekanismenya masing-masing untuk mencapai dan menjaga norma-norma yang telah disepakati bersama, tetapi tidak semua bangsa dan negara berhasil mencapai dan menjaga norma-norma dengan kualitas yang sama. Negeri Belanda memiliki Sociaal-Economische Raad (SER), Dewan Ekonomi Sosial, yaitu dewan yang sangat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah melalui berbagai anjuran yang disampaikannya kepada pemerintah dan parlemen:

As an advisory and consultative body of employers' representatives, union representatives and independent experts, the Social and Economic Council of the Netherlands (SER) aims to help create social consensus on national and international socio-economic issues.

Sebagai badan penasihat dan konsultatif yang terdiri atas wakil-wakil pemberi kerja, wakil-wakil serikat pekerja dan pakar-pakar independen, Dewan Sosial dan Ekonomi Belanda (SER) bertujuan membantu mewujudkan konsensus atas isu-isu sosial-ekonomi nasional dan internasional.

The SER advises the Dutch government and parliament on the outlines of social and economic policy and on important legislation on social and economic issues. The SER’s advisory reports ideally have a dual role: to help shape cabinet policy to ensure it enjoys broad support from society and to help ensure the business sector operates in a socially responsible manner.

SER memberi nasihat kepada pemerintah dan parlemen Belanda tentang garis-garis besar kebijakan sosial dan ekonomi dan tentang perundang-undangan sekitar isu-isu sosial dan ekonomi yang penting. Anjuran yang diterbitkan SER memiliki peran ganda: (i) membantu agar kebijakan kabinet pemerintah mendapatkan dukungan luas dari masyarakat dan (ii) membantu agar sektor usaha berjalan dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial.


Dalam merumuskan anjurannya, SER dipandu oleh tujuan kemakmuran sosial dalam arti yang seluas-luasnya. Ini mencakup bukan saja kemajuan material (yaitu peningkatan kekayaan dan produksi), tetapi juga  kemajuan sosial (yaitu kesejahteraan dan keeratan sosial) serta lingkungan hidup yang berkualitas tinggi (yaitu faktor-faktor lingkungan dan ruang).


The SER’s advice is guided by the objective of social prosperity in its widest sense. This encompasses not only material progress (i.e., increased affluence and production), but also social progress (i.e., improved welfare and social cohesion) and a high-quality environment in which to live (i.e., environmental and spatial factors).


Filsafat dan mekanisme di atas membentuk ekonomi musyawarah (overlegeconomie) yang bertumpu pada dialog bertema sosial-ekonomi. Dialog berlangsung antara dua kelompok, yaitu perhimpunan pemberi kerja (pengusaha) dan serikat pekerja, yang berembuk dan berunding, dimana pemerintah juga terlibat di dalamnya, untuk mencapai butir-butir kesepatan yang selanjutnya dituliskan sebagai perjanjian kerja kolektif (Collectieve Arbeidovereenkomst, CAO). Kedua kelompok ini dikenal di Belanda sebagai partner sosial (sociale partners). 


Kedua kelompok ini ditambah pemerintah praktis mencakup semua anggota masyarakat. Karena itu, kesepakatan yang dicapai praktis menaungi semua sendi-sendi kehidupan masyarakat, yang harus dijunjung dan menjadi tanggung jawab bersama. CAO dijabarkan untuk sektor masing-masing, misalnya antara pengusaha hotel-restoran dan karyawannya terdapat CAO hotel-restoran, antara pemerintah dan pegawainya terdapat CAO pegawai negeri sipil, dan banyak lagi lainnya. 


Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi terdapat CAO perhimpunan universitas Belanda (Vereniging van Samenwerkende Nederlandse Universiteiten, VSNU). Wujud pemahaman “kita” yang inklusif tercermin dari faktor hanya sebesar 3 saja di antara gaji bruto jenjang teknisi dan jenjang guru besar. Dengan pajak pendapatan progresif yang berlaku di Belanda, yaitu berkisar antara 37% sampai 52% tergantung besarnya gaji, maka faktor di antara gaji netto kedua jenjang tersebut akan lebih kecil dari pada 3. 


Ini sangat kontras dengan faktor sebesar 25 di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, apalagi ini terjadi pada peran (fungsi) yang sama (setara) yaitu guru besar. Dalam pemahaman “kita” yang inklusif, faktor sebesar itu akan ditolak mentah-mentah. Alasannya bukan keadilan, tetapi alasan pragmatis yaitu kesenjangan sosial yang terjadi dinilai akan mengganggu suasana kerja. Akibatnya pada skala masyarakat, upaya dan hasil maksimal tidak akan bisa tercipta pada semua lini kehidupan. 


Bahwa kesenjangan sosial ditoleransi dalam pemahaman "kita" yang ekslusif tercermin dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari yang bisa berlangsung damai tanpa konflik, padahal ada "kita" yang secara sosial-ekonomi mendapatkan pengistimewaan (privilege) dibandingkan "kita" yang lainnya. Pengistimewaan ini tidak dianggap tidak pantas, karena dalam pemahaman ekslusif, orang dianggap punya rejekinya masing-masing. Perbedaan status sosial, ambang batas kenikmatan dan penderitaan dianggap sebagai bawaan pribadi masing-masing.


Karena adanya kelompok yang “dikeluarkan” dari “kita” pada pemahaman yang ekslusif, sangatlah sulit untuk dilakukan dialog. Yang terjadi justru pertikaian seperti yang terjadi di sekitar penetapan kenaikan upah minimum di awal tahun 2013 di Indonesia. 


Para buruh bicara pada tingkat “bagaimana bisa hidup… bagaimana bayar kontrak rumah… bagaimana biaya sekolah anak-anak… “, para pengusaha kelas menengah pusing tujuh keliling melihat ongkos karyawan tiba-tiba naik lebih dari 40%, para pengusaha besar khawatir kalau customer utama mereka seperti Nike, Adidas, akan minggat.


Sementara itu hampir bersamaan muncul berita dari laporan kekayaan dunia, World Wealth Report, bahwa Indonesia menempati nomor satu dalam pertumbuhan jumlah orang yang masuk daftar orang terkaya di dunia. Fenomena yang sangat tidak membantu terciptanya dialog. “Kami buruh, kalian pengusaha” versus “kami pengusaha, kalian buruh”. Akhirnya, kesalahan ditimpakan kepada pemerintah.


Pemahaman ekslusif mendorong pengkotak-kotakan masyarakat. Tumbuh persepsi bahwa kesejahteraan dicapai hanya karena prestasi dan usaha pribadi. Kenyataan bahwa tidak semua pribadi memiliki kesempatan yang sama untuk berprestasi tidak diakui. Disamping itu, hanya prestasi di peran elit terpandang yang dihargai.


Eksesnya generasi muda makin dituntut untuk berprestasi, didorong bersaing untuk meraih peran elit di dalam masyarakat, bahkan sejak di bangku sekolah dasar yaitu ketika segalanya diukur berdasarkan angka nilai prestasi akademik. Mereka tidak diberi pengertian bahwa kehidupan bermasyarakat sangat tergantung atas kualitas peran elit terpandang (di latar depan) maupun peran non-elit yang berada di latar belakang.


Dorongan kuat untuk mencapai status sosial elit yang terpandang, dengan keuntungan materi yang menyertainya, pada gilirannya akan memacu kesenjangan sosial. Tidak semua dokter dan pelayanan kesehatan dapat dijangkau oleh semua anggota masyarakat adalah salah satu wujud kesenjangan. Biaya perawatan dan harga obat menjadi faktor yang membedakan usia yang satu dari yang lainnya.


Demikian juga halnya dengan faktor keselamatan dan keamanan, dimana risiko kecelakaan pada peran non-elit terabaikan. Kesenjangan dianggap sebagai perbedaan yang merupakan “berkah dari sananya”. Dapat dibaca bahwa pemahaman “kita” yang inklusif hanya dipisahkan oleh benang yang tipis saja dari pemahaman “kita” yang ekslusif. 


Jelas, pemahaman “kita” yang inklusif memiliki banyak ciri yang luhur. Namun, di sisi lain ini tidak berarti bahwa pemahaman “kita” yang ekslusif dilandasi niat jahat. Pada dasarnya hati nurani setiap manusia memimpikan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakatnya. Rasanya juga tidak mungkin ada satu negarapun yang memiliki undang-undang dan kebijakan yang menentang kesejahteraan bersama bangsanya.


Tetapi, tidak semua bangsa berhasil mencapai impiannya. Atau, malahan justru sebaliknya yang terjadi, jurang kesenjangan yang makin dalam saja. Dalam konteks ini, pemahaman “kita” yang ekslusif bisa dianalogikan sebagai faktor penyebab kecelakaan sosial: tidak disengaja, tapi akibatnya bisa fatal.


SER di Belanda didirikan pada tahun 1950. Bukanlah suatu kebetulan bahwa pemahaman “kita” yang inklusif  tertanam dalam di masyarakatnya seperti terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Bukanlah suatu fenomena yang aneh di Belanda kalau seorang profesor tidak memiliki mobil, atau bahkan tidak punya SIM dan tidak bisa menyetir mobil, sedangkan teknisinya datang tiap hari ke kantor naik mobil.


Seorang menteri yang datang ke gedung parlemen dengan mengayuh sepeda juga bukan pemandangan yang ajaib. Tetapi, orang juga dipersilahkan datang dengan mobil Bentley seandainya ia mampu. Tidak ada “hukuman” sosial untuk hidup mewah, tetapi tidak ada juga “penghargaan sosial” ekstra terhadap suatu kemewahan. Itulah wujud kemerdekaan dan kemandirian yang hakiki dari suatu bangsa dimana setiap orang bisa memilih bagaimana ia menjalani kehidupan sehari-harinya sebagai bagian dari suatu kebersamaan “kita”.


Solidaritas “kita” juga terwujud di saat negeri Belanda menghadapi krisis ekonomi. Perubahan berbagai peraturan dan kebijakan, seperti dalam perpajakan, jaminan kesehatan, jaminan masa tua, perumahan, dan lain-lain, dilandasi prinsip de financieel sterkste schouders dragen de zwaarste lasten, yaitu “bahu yang terkuat (secara keuangan) menanggung beban yang terberat”.


Namun, jangan disalahartikan bahwa yang kaya atau yang lebih beruntung wajib “menolong” yang kurang beruntung, dan jangan pula diartikan bahwa yang kurang beruntung berhak atas “pertolongan” dari yang lebih beruntung. Solidaritas ini bukan berdasarkan charity (sedekah) tetapi terbentuk atas prinsip “gotong royong” demi kenyamanan bersama. Setiap orang sedapat mungkin harus tetap bisa berupaya maksimal di perannya masing-masing untuk kepentingan bersama, di masa subur maupun masa paceklik.


Bahwa kesejahteraan sosial, dan bukannya kesenjangan sosial, yang diimpikan hati nurani umat manusia tercermin dari terbentuknya dewan sosial-ekonomi di 71 negara sejak berdirinya Association of Economic and Social Councils and Similar Institutions (AICESIS), perhimpunan dewan-dewan ekonomi dan sosial serta lembaga-lembaga serupa, pada tahun 1999. SER Belanda berperan aktif dalam inisiatif pendirian AICESIS. Tujuannya untuk memajukan dialog dan pertukaran di antara anggotanya, serta mempromosikan pendirian dewan ekonomi sosial di negara-negara lain. 


Sekali lagi, tidak (belum) semua bangsa telah berhasil mencapai konsensus atau kesepakatan tentang berbagai isu-isu sosial-ekonomi dan menerapkan norma-normanya dalam kehidupan masyarakat. Belum semua bangsa berhasil menghilangkan kesenjangan sosial. Tema sosial-ekonomi itu cukup luas mencakup isu-isu seperti penciptaan lapangan kerja, relasi kerja, penataan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, tata ruang, gaji dan upah, pensiun,  pendidikan, jaminan sosial dan kesehatan, lingkungan hidup, dan lain-lain.


Dapat dibayangkan, tidak mudah mencapai konsensus untuk isu-isu yang langsung berkaitan dengan hajat pribadi. Tetapi tanpa konsensus orang tidak bisa mengatakan berapa yang cukup, berapa yang tidak cukup, definisi kebutuhan hidup menjadi rancu.


Penting dicatat pemahaman “kita” yang inklusif berlaku untuk masyarakat yang hidup dan berkegiatan di dalam batas-batas teritori negerinya, yang terdiri atas warga negaranya dan sejumlah kecil penduduk asing.


Penting juga dicatat, konsekuensi dari pemahaman inklusif juga menolak kesenjangan sosial antara penduduk asing dengan warga negaranya. Kesepakatan sosial-ekonomi yang berlaku untuk warga negaranya berlaku juga untuk penduduk asing. Kesenjangan sosial? Tidak! Perbedaan status sosial? Silakan!


Tidaklah perlu diragukan lagi bahwa pemahaman “kita” yang inklusif adalah wujud kedaulatan negeri, wujud nasionalisme berdasarkan prinsip “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” dalam perjuangan mencapai cita-cita bangsa yang terpatri dalam Pancasila. Nasionalisme seperti ini tidak memerlukan entitas “asing” sebagai “musuh”. Nasionalisme ini menjunjung tinggi solidaritas dan konsensus di dalam masyarakatnya. 

Popular posts from this blog

Indonesia Calls!

Contents

History & Commemoration