Paspor dan Stiker

Paspor dan Stiker


Identitas yang melekat pada diri kita sebagai bagian bangsa Indonesia akan lebih terasa ketika akan bepergian ke luar negeri. Jumlah negara yang membebaskan orang Indonesia dari kewajiban memiliki visa tidaklah banyak. Sebagian besar mengharuskan kita mengajukan permohonan di kedutaan besar mereka di Jakarta sebelum kita memulai perjalanan, walaupun untuk kunjungan singkat sekalipun. 

Proses permohonan visa sarat dengan berbagai episode kejengkelan. Dimulai dari daftar persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon, yang disusun berdasarkan anggapan bahwa pemohon visa bermaksud tinggal ilegal di negeri tujuan. Untuk memperoleh visa, pemohon harus membuktikan bahwa anggapan itu tidak benar.

Sebagai contoh, untuk masuk ke negeri Belanda tercantum secara eksplisit:

 … documentary evidence that the applicant will return to the county of origin --- important in order to minimise the risk that the applicant may settle in the Netherlands illegally.

… bukti dokumen bahwa pemohon akan kembali ke negeri asalnya (Indonesia) --- penting untuk meminimumkan risiko bahwa pemohon akan tinggal di Belanda secara ilegal.

Kemudian dibawahnya terdapat daftar panjang dokumen untuk dinilai oleh staf kedutaan, apakah bisa diterima sebagai bukti atau tidak. Status pemohon visa pada dasarnya adalah dirty until proven clean, “kotor sampai terbukti bersih”. Tidak cukup berhenti di situ, kalau semua bukti itu sudah disampaikan, pemohon harus membuktikan juga bahwa setelah tiba di Belanda ia tidak akan mengubah profesinya menjadi hobo, gelandangan tunawisma.

 Seorang insinyur yang berkecimpung dalam teknologi tinggi ingin menengok kakaknya di Belanda yang mendapat musibah terkena serangan jantung di bandara Schiphol waktu hendak pulang ke Indonesia. Ketika itu ia masih bekerja di pembuat pesawat terbang Embraer di Brasil, dan ketika musibah itu terjadi kebetulan pas akan kembali ke Brasil setelah berlibur di Indonesia. Dalam skema penerbangannya ke Brasil ia harus transit selama 7 jam di Schiphol, Amsterdam. Ia ingin memanfaatkan waktu ini untuk menjenguk kakaknya. Kemudian ia menghubungi kedubes Belanda di Jakarta, mengajukan permohonan visa lengkap dengan surat keterangan dari rumah sakit di Amsterdam dimana kakaknya dirawat.

Tentu saja ia tidak memiliki segala dokumen bukti yang menjamin ia akan kembali ke Indonesia, karena ia bekerja dan tinggal di Brasil. Ia hanya ingin mampir di Belanda dalam perjalanannya ke Brasil. Lagipula situasinya juga mendadak, namanya juga musibah. Tak dinyana perlakuan staf kedubes Belanda sangatlah tidak ramah, seperti gusar mengatakan bahwa bukan begitu caranya memohon visa.

Untuk tidak memperpanjang masalah, ia menarik permohonan visanya dan berangkat ke Brasil. Setibanya di Schiphol untuk transit, ia menghubungi bagian imigrasi, minta izin untuk menjenguk kakaknya. Dengan penuh pengertian marechaussee (tentara kerajaan) di Schiphol memberinya visa transit sehingga ia bisa menjenguk kakaknya. Ternyata staf kedutaan besar Belanda di Jakarta lebih “Belanda” dari pada tentara kerajaan Belanda.

Pada daftar persyaratan permohonan visa tertulis:

The embassy will ultimately decide which documents it wants to see... The embassy ultimately decides whether the documentary evidence is sufficient. If the embassy considers it insufficient, the application may be refused owing to the risk that the applicant may try to settle in the Netherlands illegally.

Kedutaan akan menentukan dokumen mana yang ingin ia lihat... Kedutaan memutuskan apakah bukti dokumen mencukupi. Kalau kedutaan menganggap tidak cukup, maka permohonan bisa ditolak mengingat risiko bahwa pemohon akan berusaha tinggal di Belanda secara ilegal.

Seorang guru besar emeritus, ilmuwan ternama di dunia, penerima tanda jasa bukan saja dari berbagai institusi internasional tetapi juga Order of the Golden Ark dari Pangeran Bernhard Belanda, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Wageningen Belanda, atas jasa-jasanya di bidang lingkungan hidup. Ia mengajukan permohonan visa sesuai prosedur dengan segala persyaratannya. Ia khusus datang ke Jakarta dari Bandung untuk diwawancarai dan mengambil visa sesuai waktu yang ditentukan oleh kedubes Belanda. Setelah sekian lama menunggu, muncul staf kedubes memberitahu untuk datang di lain waktu saja karena sudah hampir jam tutup kantor. Afspraak is afspraak, janji adalah janji, kultur Belanda ini rupanya tidak berlaku di kedubes Belanda di Jakarta.

Barangkali karena Belanda adalah mantan penjajah negeri Indonesia, orang Indonesia yang “kotor sampai terbukti bersih” seperti telah menjadi dogma yang tertanam di benak staf kedutaan besarnya, seolah-olah 240 juta orang Indonesia semuanya ingin pindah ke negeri Belanda dengan segala cara.

Merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, sama saja seperti warga negara Indonesia yang bekerja secara ilegal di Belanda tidak diketahui berapa jumlahnya, ternyata warga negara Belanda yang menyalahgunakan visa turis (Visa on Arrival, VOA) masuk Indonesia untuk bekerja atau berbisnis secara ilegal juga tidak diketahui jumlahnya. “Apa? Orang Belanda bekerja ilegal di Indonesia??? Ngga salah ngomong tuh!”. Ngga, ngga salah ngomong! Ngga salah dengar!

Bukan hanya Belanda, Indonesia juga menghadapi permasalahan pekerja dan penduduk asing ilegal. Orang Eropa yang bekerja atau berbisnis secara ilegal biasanya aktif di daerah-daerah turis. Pekerjaannya bervariasi mulai dari “guru” bahasa, tour guide, divemaster (DM), koki di restoran dan hotel, bar tender di kafe dan disko, sampai bermacam pekerjaan atau bisnis lainnya. Situasi ini tercermin dalam perbincangan di media sosial Belanda:

“… Afgelopen zondag nog zo'n Bali-ganger ontmoet. Zit al 25 jaar op allerlei visa en doet ook al die jaren al allerlei zaken en "klusjes"…” “… Alle Europese DMers die ik in IndonesiĆ« heb ontmoet werkten illegaal…”

 “… In sommige gevallen kan men ook illegaal werken (zonder werkvergunning) , alleen ben je echt zuur als je tegen de lamp loopt…”

 “… De hoofd (een bobo) van de Balinese immigratie praat dat van duizenden en duizenden mensen met KITAs (ya , je leest het goed KITAS) een heleboel aantal illegaal (of half illegaal) werken. Staat in de Bali Post…”

Yang pertama menceritakan pertemuannya dengan seseorang yang sudah tinggal 25 tahun di Bali yang menyalahgunakan berbagai jenis visa untuk melakukan berbagai bisnis dan pekerjaan secara ilegal. Yang kedua mengatakan bahwa semua instruktur selam asal Eropa yang pernah ditemuinya di Indonesia bekerja secara ilegal. Yang ketiga memberi advis kepada temannya, “bisa juga bekerja ilegal (tanpa izin kerja) asal tahu saja risikonya berat kalau tertangkap”. Yang berikutnya menyitir pernyataan kepala imigrasi Bali bahwa dari ribuan orang asing yang memiliki KITAS (Kartu Ijin Tinggal Terbatas) banyak sekali yang bekerja secara ilegal. “Diberitakan di Bali Post”, katanya.

Memang benar, dari waktu ke waktu ada saja berita orang asing ditangkap karena bekerja atau berbisnis secara ilegal . Sebuah website untuk expat di Indonesia memasang halaman berisi saran untuk mereka yang ingin datang ke Indonesia untuk bekerja:

Are you one of the many expats who would like to look for work in Indonesia? Then, this article is for you! We get many inquiries on this site and postings on the Expat Forum from expatriates who want to relocate to Indonesia, or are already here, perhaps as a “trailing spouse”, and are looking for work. Perhaps the first thing to ask , is "Are you already in Indonesia?"

 As job seekers around the world know, being able to respond immediately to leads and requests for interviews, as well as to network, is invaluable in a job search. Frankly speaking, it will be very hard for you to locate employment in Indonesia, if you are not physically there.

Diakuinya, untuk orang asing mencari pekerjaan di Indonesia sangatlah sulit kalau tidak datang ke Indonesia untuk hadir secara fisik. Padahal masuk ke Indonesia dengan visa turis dengan niat mencari pekerjaan per definisi adalah tindakan ilegal. Modus ilegal lain yang sangat populer di kalangan asing asal negara-negara OECD (kelompok “negara maju dan makmur”) adalah pembelian dan penyewaan villa dan hotel secara ilegal yang berdiri melalui perjanjian bawah tangan dengan warga lokal. Di Bali saja jumlahnya diperkirakan 4500. Walaupun dioperasikan oleh warga lokal, “pemiliknya” akan rutin datang ke Indonesia untuk menjenguk propertinya dengan menggunakan VOA untuk turis.

Kalau kunjungannya memerlukan waktu yang lebih panjang dari 30 hari, mereka cukup keluar Indonesia sebentar ke Singapura atau Kuala Lumpur dan kembali lagi masuk Indonesia untuk mendapatkan “perpanjangan” visa 30 hari lagi. Mudah diantisipasi bahwa daerah-daerah penghasil produk barang-barang seni (art & crafts) berkualitas tinggi untuk ekspor juga sangat rentan terhadap praktek bisnis ilegal yang melibatkan warga negara asing.

Sangatlah logis bahwa turis asing yang melanggar keimigrasian tidak akan pernah bisa ditemukan di kantung-kantung kemiskinan. Mereka hanya akan didapati beroperasi di “lumbung-lumbung padi di daerah subur”, seperti Bali, Lombok, Yogyakarta, resor-resor turis, serta kota-kota besar yang memiliki tingkat perekonomian tinggi. Di sisi lain, pekerja ilegal asal Indonesia di Belanda juga tidak akan ditemukan di lokasi-lokasi dimana tenaga mereka tidak dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi warga lokal.

Dalam konteks pekerja asing ilegal, luas total tanah dan jumlah penduduk tidak dapat dipakai sebagai ukuran risiko. Luas tanah Belanda adalah 33700 km2 (di luar perairan darat), dari mana hanya 12% merupakan daerah alami, sedangkan lainnya terpakai untuk kegiatan ekonomi, terutama pertanian dan perkebunan (55%), dan perkotaan serta infrastruktur. Luas tanah Bali 5800 km2, DKI Jakarta 660 km2, kotamadya Bandung 167 km2, Yogyakarta 32 km2, Surabaya 374 km2, dan kota-kota lainnya serta resor-resor turis dengan tingkat perekonomian tinggi kalau dijumlahkan masih jauh dari luas 12% dari 33700 km2. Sementara itu Human Development Index (HDI) Belanda menduduki posisi nomor 4 di dunia, sedangkan Indonesia nomor 108.

Pekerja asing ilegal asal Belanda di Indonesia akan lebih bersifat “mengambil” lowongan pekerjaan yang diinginkan sebagian kecil penduduk lokalnya yang memiliki kualifikasi yang setara, sedangkan pekerja ilegal asal Indonesia lebih “mengisi” lowongan pekerjaan yang tidak diinginkan penduduk lokalnya. Walaupun keduanya sama-sama berkontribusi terhadap kegiatan ekonomi dengan satu dan lain cara, terdapat perbedaan mendasar dalam aspek persaingan perolehan kerja.

Untuk kasus-kasus di kedua negara itu tidak ada data-data gamblang yang dapat dipercaya mengenai jumlah, tidak ada data volume ekonomi serta dampaknya terhadap masyarakat setempat, negatif ataupun positif. Keduanya terjadi di bawah permukaan. Penangkapan juga hanya bisa terjadi secara sporadis. Belanda maupun Indonesia sama-sama tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk mengatasi ilegalitas secara tuntas. Ditinjau secara perspektif proporsional, kiri-kanan, bawah-atas, masalah yang dihadapi pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia adalah sama parahnya.

Mungkin ada yang berkilah, “Mana ada orang Belanda mau tinggal ilegal di Indonesia. Hidup di kota di Indonesia ribet, dimana-mana macet, tidak teratur, pencemaran udara kelihatan parah. Lagi pula di sana tidak ada jaminan sosial dan kesehatan seperti di Belanda”. Pihak yang lain juga bisa berdalih, “Jangan bandingkan Belanda dengan Malaysia. Mana mau orang Indonesia pindah ke negeri dingin dan basah seperti Belanda yang bahasa dan kulturnya juga susah dimengerti, yang pada hari minggu daerah perumahannya sepi sekali seperti kota mati.

Jaminan sosial? Ah, kita semua juga bisa lihat makin banyak saja orang Belanda yang tergantung dari voedselbank. Tahun 2013 saja sudah 35.000 rumah tangga, artinya sekitar 85.000 orang, tergantung santunan pangan gratis dari instansi sedekah itu. Orang Belanda mengadu nasib di sorga tropis? Mengapa tidak”.

[ditulis dalam kurun waktu 2008 - 2013]



Popular posts from this blog

Indonesia Calls!

Contents

History & Commemoration