Gdansk, kota kuno yang baru (2005)

 


Gdansk, kota kuno yang baru

"Hati-hati, jangan sampai dirampok", begitulah boss saya menasehati ketika saya akan berangkat ke Gdansk (Danzig) di Polandia untuk suatu pertemuan dinas. Terbayanglah di benak saya, jalan yang tidak rata dan sempit, gedung yang kusam, dan orang-orang gypsi berkeliaran dimana-mana. 

Ekonomi yang terangkat

Dari Amsterdam saya naik pesawat SAS (Scandinavian Airlines System), transit di Copenhagen. Seperti biasa, kalau ada pertemuan di suatu negara, selagi transit pasti bertemu dengan peserta dari negara-negara lain. Begitu juga di Copenhagen,  saya dari Belanda berpapasan dengan peserta dari Spanyol, Jerman, Finlandia, Norwegia, Swedia dan tentu saja Denmark.

Mendarat di Bandara Lech Walesa Gdansk memberikan kesan seperti tiba di Bandara Husein Sastranegara Bandung. Tidak kelihatan banyak pesawat. Hanya ada satu runway. Conveyor untuk koper juga hanya ada satu. Pemeriksaan paspor berlangsung agak lama. Pertanyaannya sama dengan waktu mengambil visa di Den Haag. Padahal pengurusan visa sudah makan waktu satu minggu. Surat undangan harus ditunjukkan lagi. Semuanya dicatat di kertas, lalu diketik di komputer. Mungkin ini sisa-sisa birokrasi pakta Warsawa yang tertanam di dalam kulturnya selama puluhan tahun. Tetapi masih beruntung, petugas imigrasi tampaknya hanya melakukan tugasnya saja, tegas dan profesional.

Gedung bandara tidaklah besar, tetapi bersih dan cukup modern. Terlihat pada salah satu tiang penyangganya sebuah plakat berlambang Uni Eropa dengan tulisan "This facility has been co-financed by Phare Programme". Phare programme adalah program restrukturisasi negara-negara Eropa Timur calon anggota Uni Eropa. Sejak dimulainya pada tahun 1989, program yang sifatnya menyeluruh ini telah memakan biaya hampir satu trilyun Euro. Pada tanggal 1 Mei 2004, Polandia resmi menjadi anggota Uni Eropa.

Keluar dari gedung bandara saya agak ragu-ragu mencari taksi. Sebelum saya berangkat dari Amsterdam, pihak tuan rumah sempat menasehati, "Kalau bisa, ambil taksi bermerek Hallo. Ongkosnya sampai hotel sekitar 40 Zloty", begitu katanya di dalam e-mail.  Ini seperti orang menasehati saya agar memilih taksi Blue Bird dari bandara Cengkareng, sekaligus dengan informasi ongkosnya supaya yakin tidak dibawa putar-putar oleh supir taksi. Betul saja, di pintu keluar gedung ada beberapa orang menghampiri saya menawarkan  taksinya. Tentu saja saya tolak. Untunglah, ternyata di tempat resmi mangkal taksi,  terlihat hampir semua taksi bermerek Hallo.

Apa yang saya bayangkan di Amsterdam ternyata salah sama sekali. Jalan bebas hambatan mulus seperti layaknya di Eropa Barat. Demikian juga dengan mobil-mobilnya. Mungkin memang begitulah seharusnya yang namanya solidaritas serumpun. Melalui program co-financing seperti Phare, negara yang ekonominya tertinggal dibantu dahulu agar tercipta pasarnya. Terbukti, tidak lama perjalanan dari bandara, mata disajikan pemandangan tipikal kapitalis Barat: Ikea, McDonald, Carrefour, dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya.

Galangan Lenin

Acara keesokan harinya diisi oleh pertemuan di Ship Design and Research Center (CTO), membicarakan hasil-hasil riset dan rencana kerja selanjutnya. Peserta yang hadir adalah anggota konsorsium riset untuk pengembangan teknologi baling-baling kapal. Riset ini sebagian dibiayai oleh Uni Eropa yang berpusat di Brussels. Tidaklah mengherankan kalau Polandia termasuk anggota yang diperhitungkan. Walaupun selama perang dingin berada di bawah dominansi Rusia, dan ekonominya dapat dikatakan payah terutama di masa-masa sulit tahun 80-an, dari sisi ilmu pengetahuan Polandia cukup kaya. Galangan Lenin (Lenin shipyard) di Gdansk adalah pemasok angkatan laut Uni Soviet yang penting.

Mungkin itulah ciri keunggulan para insinyur dan ilmuwan asal Eropa Timur. Karena sumber daya finansialnya terbatas, mereka berusaha mengerti permasalahannya secara mendalam terlebih dahulu, sebelum mencoba memecahkannya dengan menggunakan peralatan canggih yang mahal. Filsafat ini terbukti dapat menghasilkan karya teknik berkualitas tinggi. Pemerhati pesawat tempur dapat menemukan contohnya pada keindahan manuver kobra Pogachev dengan pesawat tempur Sukhoi-27, yaitu jenis pesawat yang sekarang dimiliki TNI-AU. Insinyur Barat yang dibekali peralatan tercanggih di dunia, seperti supercomputer, tercengang melihat manuver seperti itu.

Ironisnya, di Galangan Lenin jugalah awal terjadinya berbagai peristiwa yang diyakini merembet sampai runtuhnya tembok Berlin dan pecahnya Uni Soviet. Pada tanggal 14 Agustus 1980, Lech Walesa, seorang aktivis buruh, memimpin aksi mogok 17.000 orang buruh di Galangan Lenin. Jaringan buruh di sepanjang pantai Laut Baltik juga diajaknya beraksi, yang kalau dijumlahkan meliputi sekitar 500.000 buruh. Ia pun berhasil menundukkan pemerintahan komunis untuk mengakui hak buruh untuk mogok dan membentuk serikat buruh. Pada bulan September berikutnya terbentuklah gerakan Solidaritas yang tersohor ke seluruh dunia itu. Sekarang, Monumen Solidaritas berdiri megah di lokasi bekas Galangan Lenin untuk mengenang peristiwa bersejarah ini.

Sumber: Nobelprize.org
Lech Walesa pada tahun 1980 memimpin gerakan solidaritas di Gdansk yang diyakini merupakan awal keruntuhan Uni Soviet. Pada tahun 1983 ia dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian.

Lahirnya kembali kota kuno

Kota Gdansk kaya akan sejarah, berawal dari hari jadinya pada tahun 997 sebagai kota Polandia. Dalam perjalanan sejarahnya, ia terombang-ambing antara Jerman dan Polandia. Pada abad-14 Gdansk dikuasai Jerman. Pada abad-15 Gdansk kembali ke pangkuan Polandia. Pada abad-18, Jerman kembali menguasai Gdansk hingga akhir perang dunia pertama. Pada tahun 1919 Gdansk dideklarasikan sebagai “free city of Danzig” di bawah lindungan Liga Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1939 Gdansk kembali diduduki oleh Jerman,  yaitu peristiwa yang menandai awal perang dunia kedua.

Pada tahap akhir perang dunia kedua, Jerman bertahan habis-habisan di kota Gdansk. Musuhnya adalah pasukan Rusia yang tidak kalah fanatiknya, bertekad membalas kebengisan Jerman. Pertahanan Jerman berhasil didobrak. Entah suatu anekdot atau bukan, komandan pasukan Rusia melarang anak buahnya mengambil barang apapun dari rumah penduduk, kecuali kalau rumahnya dalam keadaan terbakar. Secara historis, Gdansk dikenal sebagai kota pedagang, yang penduduknya berasal dari kalangan berada. Siapapun mudah menebak, di setiap rumah pasti ada barang berharganya. Akibatnya, kota hancur dibakar, dan rumah-rumah penduduk pun dirajah habis.

 
Sumber: www.gdansk.pl
The Golden House dibangun pada abad-17 di pusat kota Gdansk,  berbentuk sempit dan tinggi seperti rumah-rumah di Amsterdam, mencerminkan hubungan dagang yang erat dengan Belanda.

Setelah perang berakhir, Gdansk dikembalikan ke Polandia. Saat itulah penduduk dihadapkan pada berbagai pilihan untuk membangun kembali kotanya yang sudah menjadi puing-puing. Akhirnya suatu keputusan yang bijak diambil. Mereka mengumpulkan sebanyak mungkin dokumen, foto dan lukisan yang menunjukkan bagaimana bentuk dan rupa semua bangunan pada masa sebelum perang. Kemudian satu-persatu dibangun kembali, direkonstruksi di tempatnya masing-masing menurut arsitektur aslinya.

Daerah di sekitar gereja St. Mary termasuk daerah yang hancur karena perang. Rekonstruksinya dinyatakan tuntas pada tahun 1956, sepuluh tahun setelah perang berakhir. Sekarang kita bisa melihat bangunan dan jalan yang tertata rapih. Pada malam hari dengan cuaca sedikit gerimis, jalan berbatu yang basah terlihat mengkilap memantulkan sinar lampu, sangat romantis. Setiap rumah memiliki teras yang dihubungkan ke jalan dengan tangga. Teras ini diyakini pada jaman dahulu memiliki fungsi sebagai tempat bermain anak-anak.

Rekonstruksi tidak hanya sebatas pada gedung dan rumah, tetapi juga pada gaya hidup tradisional di sepanjang jalan untuk mencerminkan suasana kehidupan abad pertengahan. Hasilnya, tidak saja generasi mudanya sekarang bisa membayangkan bagaimana kehidupan nenek moyang mereka, tetapi juga tercipta tujuan wisata yang menghasilkan devisa negara. Wisata ke Gdansk tidaklah lengkap kalau belum mengunjungi daerah ini.




Sumber: www.gdansk.pl
Perumahan di sisi jalan berbatu dengan latar belakang Gereja St. Mary (dibangun pada periode 1343-1502), pada tahun 1945 hancur akibat pertempuran.

Rombongan kami yang terdiri atas sekitar 15 orang itu cukup beruntung mendapatkan tuan rumah yang ramah. Kami diberi semacam guided tour, jalan kaki berkeliling pusat kota sambil mendengarkan ceramah mengenai sejarah Gdansk. Terbersit pertanyaan di lubuk hati, dapatkah saya bercerita tentang Bandung sebagaimana dia menceritakan kota tempat tinggalnya? Dimanakah saya di Bandung bisa berjalan-jalan di suatu daerah historis sambil bercerita kepada rekan sejawat yang datang dari segala penjuru dunia? Dimanakah saya bisa menunjukkan rumah panggung dengan pekarangannya yang mencerminkan kehidupan tradisional khas Sunda? Rupanya bangsa kita masih bisa banyak belajar dari penduduk Gdansk dalam menghargai warisan budaya. Mereka telah membuktikan bahwa modernitas dan kepentingan ekonomi bisa berdampingan dengan tradisi dan kebudayaan asli.


Popular posts from this blog

Indonesia Calls!

Contents

History & Commemoration